Selasa, Desember 25
Minggu, Desember 23
1001 IDE
1001 IDE, coming soon! 2013. with theme Nusantara Swarnadwipa. Swarna (Sanskrit) means gold and Dwipa means island. so, Swarnadwipa means gold islands, maybe. it means that the archipelago (Indonesia) has a lot of potential as gold. even now.. i hvnt been doin 1001 ide's creation, but last night i hv done with the poster :3 wuhuuuu. this event will be held on Feb13, bismillah 0:)
Sabtu, Desember 22
Minggu, Maret 11
earth tones
i wear earth tone clothes! *again*. dont know why, i love earth-tone so much. really really loooooove it. dont you know that most of my clothes on my cupboard was on earth tone. if you love earth, please love earth tone too :*
capture-it
this photo was taken last december. exactly on newyear holiday. haha *late posting* i had a lil trip to jogja and visit my bigbro alsoooo {} go there with my beloved mom and sister. hihi jogja never boring yaah
Kamis, Maret 1
love uniform
these are my classmates. how I love them so much:* not really ready to leave them when I continue my study in college:"<
Rabu, November 2
Liver dan Seuntai Kasih
Lisa mengerutkan
dahinya, tetesan keringat mengalir di kening wajahnya. Layaknya siswi kelas 3
Sekolah Dasar pada umumnya, entah tangan kanan atau kirinya selalu menggenggam
es teh yang nampak segar. Sesekali gadis manis itu menyuruput es teh dari ujung
sedotan merahnya. Pukul 1 siang, matahari terasa tepat berada di atas
ubun-ubun, teriknya menusuk, dan keringnya terasa. Siang itu, sepulang sekolah,
Lisa menunggu sopirnya menjemput. Pak Dodo biasa dipanggil. Pak Dodo bertugas mengantar
dan menjemput Lisa akhir-akhir ini. Karena Umi yang terlalu sibuk akan sesuatu.
ooo
Umi dan Abi, panggilan sayang untuk
Ibu dan Ayah Lisa. Saat tahun ajaran baru, tepat setelah Lisa memasuki kelas 3
SD, Abi jatuh sakit. Abi seorang dokter, entah kenapa Abi tak pernah mau dirawat di rumah sakit meskipun kondisi
kesehatannya semakin menurun. Aneh sebenarnya, melihat Abi yang setiap hari
berkutat dengan obat-obatan, mengobati orang lain, tidak mau dirujuk ke rumah
sakit. Malahan, lebih memilih tinggal di rumah, memakai pengobatan islami atau
tradisional, dan berintrospeksi akan hidupnya. Lebih mengevaluasi dan
mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Hampir 2 bulan berlalu, Lisa
mengkhawatirkn kondisi Abinya. Ia ingin bercerita bahwa ia sangat khawatir pada
sang abang. Abang Lisa duduk di bangku MTs, di sebuah pondok pesantren
terkemuka, Solo, Jawa Tengah.
“Bang
Luthfin kapan pulang Mi?”, tanya Lisa suatu hari pada Uminya.
“Masih
nanti waktu liburan, memangnya kenapa sayang?”, jawab Umi halus seraya mengusap
kepala Lisa.
“Engga mi, Lisa pengen cerita dan
main aja sama Abang. Abisnya sepi banget sih di rumah. Umi juga sibuk terus!
Kan Lisa kangen rame-ramean di rumah mi”, jawab Lisa sambil memasang tampang
ngambeknya.
“Sssssttt…
ngga boleh itu sayang, tunggu Abi sembuh ya, nanti kita liburan sama-sama.
Jemput abang juga di Solo”
“Tapi
kapan Abi sembuhnya?”
“Secepatnya,
kan Allah yang atur sayang, makanya Lisa do’akan Abi ters ya! Minta ke Allah
untuk nyembuhin Abi”
ooo
Keluarga Lisa, memiliki kerabat
dekat. Sebuah keluarga dengan 3 anaak dan sudah bersahabat dengan keluarga Lisa
sejak dulu. Anak terakhirnya bernama Iza, parasnya manis berkacamata. Teman
sekelas sekaligus sebangku Lisa sejak TK sampai sekarang. Om Yusuf, Ayah Iza,
dan istrinya selalu membantu Abi untuk kesembuhannya, membantu Umi, bahu
membahu mencarikan obat dan merawat Abi. Sampai suatu hari, saat orang dewasa
berkumpul di ruang tengah dan tanpa sengaja Lisa mendengar pembicaraan mereka,
bahwa Abinya selama ini mengalami sakit liver. Gangguan di hati yang pada saat
seumurnya ia belum mengerti sakit apa dan bagaimana liver itu? Ia tak faham,
kosakata di otaknya ribut berputar dan mencari data kata “liver” namun tak
ditemukan, ia diam, dan tetap tak tahu.
ooo
Ahad pagi,
“Lisaaaaa”, panggil Umi.
“Iyaaa Miiii, sebentar yaaa” Lisa
berlari kecil menghampiri Umi sambil tersenyum riang.
“Lisa, mulai hari ini kamu menginap
di rumah Iza ya!”
“Loh? Kenapa Mi?”
“Biar kamu bisa main dan belajar
sama Iza. Kan Lisa sering ngeluh ke Umi kalo Lisa kesepian di rumah, jadi Umi
pikir Lisa pasti seneng nginep di rumah Iza”, jelas Umi yang sebenarnya bukan
penjelasan dengan alasan sesungguhnya. Lisa membalas dengan anggukan kecil,
tanda setuju.
Hari itu, kondisi Abi semakin lemah,
Umi ditemani bibi sibuk merawat Abi. Bibi adalah pembantu yang sudah bekerja di
rumah Lisa sejak Bang Luthfin masih kecil, saat rumah keluarga Lisa belum
pindah dari Lampung. Umi takut kesibukannya mengalihkan perhatiannya dari Lisa.
Umi tidak mau melihat wajah kusut ada di sela paras gadis kecilnya, membuatnya
sedih dengan kondisi yang sedang sulit di rumah.
Siang harinya, Lisa diantar Pak Dodo
ke rumah Iza. Keluarga kecil itu, sudah menyiapkan segalanya. Dari hal
terkecil, sampai hal terbesar semua siap. Seakan-akan Lisa akan tinggal
selamanya di atap keluarga Iza. Dalam hatinya, Lisa senang sekaligus sedih.
Senang karena memiliki teman bermain, tapi ia tak bisa berbohong bahwa ia sedih.
Hatinya rapuh, merasa seolah dibuang oleh Umi dan Abinya karena tak terurus di
rumah. Ia belum mengerti, ia terlalu kecil untuk memahami. Seandainya Lisa tau,
mengapa Umi menyuruhnya tinggal sementara di rumah Iza…
ooo
“KRIIIIING” bel sekolah berdering. 2
bocah bergandengan akrab sambil berlari kecil menjinjing rok panjang merah
mereka. Bergegas menuju gerbang sekolah sebelum gerbang ditutup. Mereka masuk
ke kelas, duduk, dan meletakkan tas di atas meja kayu kokoh yang nampak tua. Di
kelas 3B itulah, mereka duduk bersebelahan, tertawa kecil, dan bersenda gurau.
“Za, abis ini ulangan Bahasa Inggris
kan ya?, Tanya Lisa mengusik lamunan Iza.
“Yup! Bener banget! Hampir lupa deh
kalo jam pertama langsung ulangan. Untung aja tadi malem kita belajar bareng
yah. Asik banget bisa sekamar, bisa ngapa-ngapain bareng Lis!”
“Iya Za, seneng ya jadi tinggal
serumah gini”
“Assalaamualaikum students!”, suara
Pak Risky memecah obrolan mereka.
“Good morning, come on, semua buku
dimasukkan ke dalam tas. Kita adakan ulangan yang seminggu lalu sudah bapak
janjikan ya! Do your best, and remember, don’t cheating”
Ulangan dimulai, Lisa dan Iza dengan
mudah menjawab soal-soal ulangan Bahasa Inggris. Waktu terasa begitu cepat
untuk menyelesaikan 25 soal essay. Sampai akhirnya bel berbunyi tanda waktu
telah habis. Alhamdulillah.. soal dapat dikerjakan dengan sempurna. Keduanya
tersenyum puas, saling pandang, dan menghela nafas panjang sebelum mengumpulkan
lembar jawab.
ooo
Sambil menunggu Pak Dodo menjemput, Lisa dan Iza bermain bersama
teman-temannya yang juga sedang menunggu jemputan. Menghabiskan siang dalam
candaan dan tawa sampai tak terasa satu jam menunggu dan Pak Dodo baru datang.
Telat menjemput.
“Pak Dodo lama bangeeeet!!!”, omel
Lisa.
“Maaf non, tadi saya abis nganter
Abi sama Umi”
“Loh? Emang kemana pak?”
“Nggak kemana-mana kok non” Pak Dodo
menjawab cepat pertanyaan Lisa. Ian menyadari bahwa tadi Umi berpesan untuk
tidak memberitahu Lisa. Umi mengantar Abi ke rumah sakit. Kondisi Abi kritis,
tapi Abi tetap bersikeras untuk rawat jalan di rumah. Prinsip Abi tak pernah
berubah “daripada menghabiskan uang untuk dirawat di rumah sakit, lebih baik
berdo’a di rumah dan mendekatkan diri pada Allah. Ini kan ujian dari Allah, dan
Allah tidak mungkin menguji hambaNya melampaui batas kemampuan”
Sampai di rumah Iza, Lisa melepas
seragamnya, berganti baju dan tak menghiraukan ajakan makan siang dari Om
Yusuf. Lisa menuju teras. Duduk termenung dan memutar balik otaknya.
Bertanya-tanya akan banyak hal yang tidak ia ketajui. Mengapa Umi begitu jahat
menitipkan Lisa di rumah Iza, mengapa Umi dan Abi diantar Pak Dodo ke suatu
tempat yang Lisa sendiri tak tahu, kenapa Lisa seolah tak boleh ikut repot di
rumah saja, kenapa Lisa tak tahu apa itu sakit liver, begitu parahkah kondisi
Abi sekarang? “Lisa jarang bertemu Abi semenjak Abi sakit, ngobrolpun jarang.
Kapan ya Lisa bisa menjenguk Abi? kemarin-kemarin setiap Lisa ketemu Abi, pasti
Abi nggak ngomong apa-apa, lagi istirahat terus. Lisa kangen”, katanya pelan di
dalam hati seolah berbicara pada dirinya sendiri.
ooo
Seraya
menatap kedua tangan yang menengadah ke atas, menghadap ke rumahNya, di langit sana, dalam lapisannya yang
ketujuh, seusai sholat Isya’ Lisa berdo’a meminta kesembuhan untuk Abinya.
Bibirnya bertutur, bercerita, berbicara pada Sang Khaliq apa yang ia inginkan.
Di penghujung do’a ia mengucapkan sesuatu padaNya, “Allah, tahu ingin Lisa kan?
Kata Umi, Allah maha tahu. Allah tahu yang terbaik kan? Allah, Lisa ingin Abi
segera sembuh, bisa tersenyum lagi sama Umi, Abang, dan Lisa. Bisa liburan
berempat lagi. Ya Allah mau kan mengabulkan do’a Lisa? Amiiin”. Ia mengusap
kedua tangannya ke wajah. Sambil menerawang kosong ke sajadahnya.
Tiba-tiba terdengar Iza memanggil.
“Lisaaa, ada Bang Luthfin nih pulang
dari Solo! Cepetan ke siniiiii”
Buru-buru Lisa
melipat mukenanya, bergegas menuju ruang tengah dan mendapati abangnya
tersenyum. Dengan segera Lisa mencium tangan abangnya dan memeluk erat melepas
kangennya.
“Abang tiba-tiba banget datengnya.
Kok nggak pulang ke rumah? Kok tau Lisa di rumah
Iza? Naik apa bang? Sama siapa? Kenapa ngga telfon dulu?” Lisa bertanya dengan
semangat seperti seorang wartawan.
“Aduh dek, kamu tuh ya! Mau nanya
apa introgasi sih? Pelan-pelan dong. Tadi sore tuh
Umi telfon abang, Umi minta abang pulang untuk nemenin Lisa. Tapi nanti malam abang ngga nginep di sini yaaa. Abang
nanti pulang ke rumah”
“Lisa ikut ya bang!”
“Nggak usah sayang, kamu di sini
aja. Kan besok harus sekolah. Abang janji deh, besok
siang abang yang bakalan jemput kamu ke sekolah. Abis itu kita jalan jalan beli
froyo ya!”
“Yaaah, hmm yaudah deh nggak papa
bang”
Bang Luthfin pamit pada Om Yusuf dan
istrinya, lalu segera menuju mobil untuk diantar Pak Dodo ke rumah. Lisa
membuntuti sampai ke mobil, mencium punggung tangan kakaknya dan memandangi
mobil sedan hitam melaju sampai menghilang di tikungan pertama. Lisa kembali ke
dalam, terbaring di kasur. Pikirannya kosong, mata polosnya berair, berkedip
perlahan sampai air matanya meleleh ke ujung mata. Sampai tanpa sadar, Lisa
terlelap. Sampai air mata suci itu mengering.
ooo
“Engga om, Abinya Lisa tuh sakit!”
Iza berbicara dalam telfon dengan Om Budi.
“Yaudah, pokonya suruh ayah kamu
nganterin Lisa ke rumahnya ya. Kamu juga ikut Za.
Tadi Uminya Lisa udah ngurus izin sekolah karena kalian ngga masuk hari ini.”
Telepon ditutup tepat ketika Lisa
selesai memakai seragamnya. Iza menoleh, menatap wajah Lisa, lalu menceritakan
apa yang dikatakan Om Budi di telepon.
“Lis masa kata Om Budi Abimu
meninggal, tapi Om Budi pasti bohong. Tenang aja yaa!”
“Hahaha Om Budi aneh-aneh ya” Lisa
tertegun, tertawa getir, lalu terdiam. Entah sampai dimana sekarang pikirannya
yang sudah melayang.
Sesaat setelah itu, Om Yusuf
mengajak Lisa dan Iza. Naik ke Kijang biru, melaju cepat. Lisa berbalut seragam
sekolah, bingung. Ini bukan jalan menuju kea rah sekolah, ini jalan menuju
rumah. Perasannya aneh, ada apa sebenarnya? Rasa di hati Lisa saat itu
benar-benar tak tahu kemana, ia merasa tenggelam dalam dahsyatnya ombak laut,
terapung, lalu tenggelam lagi, berusaha menuju permukaan untuk bernafas. Tapi
tetap sesak! Ada yang mengganjal dalam ruang hatinya. Mata Lisa menatap lurus
ke depan, memikirkan apa yang dikatakan Iza dari Om Budi dalam telepon.
Sesuatu membuyarkan lamunan Lisa,
seketika ia sadar bahwa Om yusuf tengah menyodorkan segelas Aqua padanya.
“Lisa yang kuat ya sayang. Lisa
belum mengerti arti kehidupan, nanti kalo kamu udah dewasa pasti ngerti.
Sekarang kita ke rumah kamu ya, Abi meninggal, tapi Lisa nggak sendiri, Lisa
masih punya ayah nih disini” tutur Om Yusuf sambil menunjuk dirinya sendiri.
Mendadak Lisa sadar, bahwa Om Budi
tidak bohong. Iza salah, Om Budi yang benar tentang apa yang dikatakannya tadi
pagi lewat telepon. Air mata Liza masih tertahan, Lisa tersenyum getir sambil
mengangguk tenda setuju dengan pernyataan Om Yusuf.
ooo
Suasana rumah sangat berbeda, sangat
ramai, penuh, sesak, lantunan tahlil yang dibaca serentak oleh banyak orang
terdengar. Lisa turun dari mobil, bergegas lari ke dalam rumah, dan tanpa
permisi, tanpa menoleh sedikitpun, tanpa menengok jenazah Abinya yang terbujur
ditutup kafan di ruang tamu, ia masuk ke kamarnya. Ia terdiam, mendapati tante
dan saudara-saudaranya berkumpul di kamarnya, menangis sesenggukan sambil
sesekali memeluk Lisa erat. Aneh! Lisa tak menangis, bukan karena tak sayang
pada Abinya, tapi ia bingung. Apakah ini sebuah kenyataan, bahkan kalau ini
nyata rasanya akan sangat pahit. Bendungan air matanya masih luas, masih belum
menetes sedikitpun. Hatinya tegar baja saat ia mencoba melangkah keluar kamar.
Lisa mendekati tubuh Abinya. Umi merangkul Lisa, mengelus keningnya, lalu
membukakan kain putih yang menutupi jasad Abinya. Semua pasang mata menatap
Lisa, mata sembab yang merah dan berair. Lisa menatap dalam-dalam kedua mata
Abi yang tertutup, seperti tidur atau beristirahat di malam-malam sebelumya.
Wajah Abi pucat, lekat-lekat Lisa memperhatikan detil wajah ayah tersayangnya
untuk terakhir kali. Bibir Abi tersimpul di ujung seperti memberi senyum pada
anak gadisnya.
Bendungan air mata Lisa penuh,
jantung Lisa berdefup kencang, tak kuat akhirnya. Butiran air itu, tetesan
basah itu, mengalir perlahan di kedua mata Lisa. Terkhir kalinya, benar-benar
terakhir dan untuk selamanya, Lisa mengecup kening Abinya sambil menangis.
Tangisan untuk melepas kepergian Abi. Umi memeluk Lisa, erat sekali. Mereka
tenggelam dalam air mata. Bahkan semua tamu yang datang tak kuasa menahan
tangis mereka. Bang Luthfin menghampiri. Umi, Lisa, dan Abang melepas Abi
dengan ikhlas. Berdo’a dan berharap agar Abi disayang, dilindingungi Allah di
surgaNya.
Akhirnya Lisa tahu jawaban akan
pertanyaan-pertanyaan yang berotasi dalam fikirannya. Lisa juga tahu, tenyata
Umi bukan membuangnya, sesungguhnya Umi ingin Lisa tabah, tak terlalu terpukul
saat memang Abi tak bisa sembuh, saat Abi diambilNya. Umi menjauhkan Lisa dan
serba-serbi kesedihan di rumah. Lisa yakin Abi bahagia disana, meski Lisa
rindu, sangat rindu. Liver mengambil Abi, tapi seuntai kasih dititipkan untuk
Lisa dari Allah melalui Abi. Lisa banyak belajar. Banyak sekali hal. Tentang
Liver, dan seuntai kasih. “Ya Allah meskipun Engkau belum menyembuhkan Abi di dunia,
tapi terimakasih untuk menyembuhkan Abi di akhirat”
Untuk Abi:
Abi, aku
menyayangimu. Bahkan mungkin aku tak pernah mengungkapkannya padamu dulu. Entah
bagaimana aka merasakan menjadi “aku”, tekadang aku merasa sangat durhaka
karena kenakalanku.
Aku yang tak pernah
faham perasaanmu, kerja kerasmu, jerih payah serta keringatmu. Tapi sungguh
saat ini aku menyadari, detik ini aku merindukanmu, rindu yang sanagat mendalam
melewati kedalaman samudraNya.
Setiap malam
memanyungi atap bumi, aku bersujud dan menyampaikan isi hatiku pada Sang Maha
Penyayang, menangis dalam kehangatan kasihNya, berharap menatap wajah lembutmu
tersenyum padaku lagi.
Abi, maafkan aku, aku
tak tau apakah secuil kata maafku cukup untuk menghapuskan banyak kesalahanku
padamu. Yang kutahu aku masih menyimpan seuntai kasih itu, seluruh hatiku
dipenuhi rasa sayangku padaNya dan padamu. Rasa yang tak pernah berkurang
setiap harinya. Sungguh, semoga malaikat menyampaikan suratku padamu.
Gadis kecilmu, Lina
Qonitah Herdyanti.
Rabu, Agustus 31
Happy Ied Mubarok
Langganan:
Postingan (Atom)